TUGAS NEUROBEHAVIOR
(MOBILISASI DINI Pada Penyakit Guillain-Barre Syndrome)
Di susun
Oleh:
1.
Elis setyawati
2.
Rio maulana
PROGRAM STUDI D III
KEPERAWATAN
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
“INSAN CENDEKIA MEDIKA “
JOMBANG
2010-2011
Jl. K.H.
Hasyim Asy’ari 171, Mojosongo – Jombang
MOBILISASI DINI
Pada Penyakit Guillain-Barre Syndrome
Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat
sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan
sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama
berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf,
penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang
terpengaruh oleh GBS secara optimal.
Setelah
fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh
yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi
aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian.
Tujuan
terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan
fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup
gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program
latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang
benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan.
Penatalaksanaan
rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu sejak
kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua
fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi, yakni pada fase
progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif, yang penting
diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak
terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi
pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun.
Prinsip
rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan kekuatan dan optimalisasi
kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama ditujukan pada
masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari rehabilitasi pada
penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi kemampuan
fungsional penderita.
Seperti
telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase
pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama
penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik.
Mempertahankan
kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa
kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu. Untuk
meningkatkan kekuatan otot, dapat dilakukan latihan penguatan secara aktif,
bila kondisi pasien memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu
menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan
dengan bantuan (aktif asistif). Pada penderita GBS yang sangat
lemah, perlu diberikan latihan pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan
angota badan penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun,
maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari waktu ke
waktu.
Latihan
menggerakkan anggota tubuh dianjurkan dimulai dari bagian bawah, dan diakhiri
dengan bagian tubuh yang terkuat. Hal ini sekaligus juga dapat meningkatkan
motivasi pasien secara psikis. Latihan pergerakan setiap sendi dilakukan secara
sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot maupun sendi yang tertinggal.
Dalam
menggerakkan anggota badan, perlu diperhatikan tingkat toleransi pasien
terhadap latihan. Pasien tidak boleh dibiarkan terlalu lelah atau melakukan gerak
paksa dalam menggerakkan anggota tubuh, karena hal ini dapat merusak motor
unit. Berikan pengertian dan kesadaran kepada pasien bahwa gerakan yang
dilakukan secara rutin lebih penting dalam mengembalikan gerakan otot, bila
dibandingkan dengan gerakan yang terlalu dipaksakan. Bagi pasien GBS, frekuensi
latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah
kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas
latihan dalam sehari dapat ditingkatkan secara bertahap.
Penderita
GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh; sehingga fisioterapis
perlu membantu penderita dalam menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak
sendi yang normal, atau paling sedikit sampai lingkup sendi yang fungsional.
Seperti
halnya latihan untuk otot, latihan pergerakan sendi sebaiknya juga dilakukan
secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif
setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan
sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS.
Pemeliharaan
panjang otot dan lingkup gerak sendi, sehingga diharapkan panjang otot dan LGS
akan tetap terjaga. Rehabilitasi pada fase lanjutan ini lebih menekankan pada
upaya peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit
yang ada serta dalam masa pemulihan. Dalam menangani masalah kekuatan otot,
fase ini masih berfokus pada peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian,
beban latihan yang diberikan belum boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit
yang aktif masih terbatas. Program latihan aktif dapat ditingkatkan apabila
penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa
kesulitan. Jenis latihan penguatan yang diberikan kemudian dapat ditingkatkan
menjadi bentuk latihan aktif resistif, dimana dalam upaya peningkatan kekuatan
otot, diberikan beban. Beban yang diberikan dapat bervariasi, baik secara
manual ataupun dengan alat. Beban manual diberikan oleh fisioterapis, sedangkan
alat yang digunakan dapat macam-macam, misalnya dengan quadricep bench.
Karena tujuan akhir rehabilitasi adalah untuk memaksimalkan kemampuan
fungsional, perlu diperhatikan pada otot mana saja akan diberikan latihan
tersebut; yakni terutama pada otot-otot yang diperlukan dalam beraktivitas.
Latihan
pergerakan sendi pada fase penyembuhan tidak berbeda dengan latihan gerak sendi
pada fase progresif; yakni berupa latihan gerak pada setiap sendi secara
sistematis, dan di akhir gerakan aktif, ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan
sendi maksimal untuk mempertahankan LGS.
Pemeliharaan
panjang otot dapat dilakukan sekaligus pada saat melakukan latihan untuk
mempertahankan LGS; terkecuali untuk beberapa otot yang melewati dua sendi,
misalnya otot quadriceps, iliotibial band, dan sartorius. Otot-otot ini penting
dalam kegiatan penderita sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh;
sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada
aktivitas penderita bila sembuh nanti. Pada otot-otot ini, perlu gerakan khusus
untuk mempertahankan panjangnya.
Salah
satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita,
apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh;
atau dengan jalan membandingkan otot sebelah kanan dengan sebelah kiri, atau
sebaliknya; sehingga dapat dinilai apakah panjang otot yang bersangkutan cukup
baik untuk penderita dapat melakukan aktivitasnya kembali.
Untuk
meningkatkan kemampuan ekspansi dada, perlu dilakukan latihan peningkatan
ekspansi dada. Namun pada fase ini, latihan secara pasif sulit dilakukan, yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bantuan ventilator atau hiperinflasi
manual. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka
pertukaran gas dalam alveoli akan bertambah sehingga mampu memenuhi kebutuhan
ventilasi. Selain itu perlu dilakukan pemeliharaan kelenturan jaringan-jaringan
lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk dapat
terpelihara dengan baik. Bila kekuatan otot interkostal sudah kembali pulih,
rongga dada akan siap untuk mengembang kembali; sehingga latihan penguatan
dapat segera diberikan. Karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator
dan hiperinflasi manual dapat memberikan efek samping, seperti barotrauma; maka
latihan aktif harus segera dilakukan. Pemberian resep latihan masih harus
memperhatikan intensitas dan frekuensi latihan dalam satu sesi dan dalam
sehari. Hal ini akan memberikan kesempatan istirahat yang cukup bagi penderita,
untuk menghindari kelelahan.
Penderita
GBS dengan kelemahan otot pernafasan umumnya sulit untuk menghasilkan batuk
yang cukup kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk,
diameter saluran pernafasan akan menyempit, dan volume udara yang masuk ke paru
akan berkurang; sehingga dengan sendirinya kemampuan ventilasi juga akan
berkurang.
Gangguan
saraf otonomik, misalnya ketidakstabilan tekanan darah, diaphoresis, ataupun
hipotensi postural akan muncul bila kerusakan selubung myelin mencapai tingkat
vertebrae torakal atau lebih tinggi lagi, yakni saraf kranialis. Gangguan
otonom ini merupakan salah satu hal yang perlu dicermati dalam rehabilitasi,
terutama dalam hal mobilisasi; dimana saat mobilisasi, tubuh perlu melakukan
adaptasi, baik karena pengaruh postural ataupun terhadap sistem kardiovaskuler.
Karenanya, perlu dicermati perubahan tekanan darah saat dilakukan tindakan
rehabilitasi.
Saat
pasien GBS mulai sembuh, penggunaan otot-otot mulai kembali, sehingga perlu
latihan otot-otot tersebut. Pasien akan terkejut betapa sedikit hal yang dapat
ia kerjakan setelah berbaring beberapa minggu di tempat tidur saja.
Fisioterapis dan terapis okupasi akan mengajarkan latihan untuk memperkuat
otot-otot, serta menggunakan otot-otot tersebut secara benar dan meningkatkan
stamina. Hari dimana seorang pasien dengan paralisis mampu duduk kembali
merupakan suatu hari besar yang sangat berarti, sementara hari-hari besar
lainnya adalah hari dimana penderita dapat duduk tanpa bantuan, duduk di kursi
roda, dan berjalan dengan atau tanpa alat bantu, seiring dengan terlatihnya otot
mereka. Interval antara fase-fase ini dapat sangat panjang dan melelahkan,
berkisar dari satu setengah bulan hingga satu setengah tahun, tergantung dari
kondisi pasien. Rehabilitasi juga berkaitan erat dengan kondisi psikologis
penderita, serta adanya periode ‘mati’ dimana tidak dijumpai adanya perbaikan
apapun. Untuk meningkatkan motivasi pasien, fisioterapis perlu mengukur
peningkatan stamina otot yang lambat, karena sesungguhnya rehabilitasi
membutuhkan waktu yang panjang dan kesabaran baik dari pasein ataupun personil
kesehatan.
Endurans
hanya dapat dibangun dengan ketekunan; hal ini merupakan sesuatu yang sulit
mengingat fakta bahwa penderita GBS memerlukan periode penyembuhan yang panjang
antara tahapan-tahapan latihan. Pada pasien yang sulit menjumpai adanya
perbaikan, mungkin perlu dibuat tujuan-tujuan jangka pendek bagi mereka
sendiri; misalnya dimulai dari berjalan, kemudian jogging, lalu mengendarai
sepeda, dsb. Mulailah dari tahap yang mudah; saat tubuh mulai belajar dan
mengetahui kemampuannya sendiri, tujuan yang ingin dicapai dapat lebih
ditingkatkan secara gradual. Jangan lupa perlu adanya waktu istirahat diantara
tahapan latihan, atau mungkin interval 1 atau 2 hari diantaranya.
Pasien
diajarkan untuk menggunakan energinya yang terbatas secara bijak, antara lain
dengan menggerakan badannya secara tepat, menghindari rutinitas yang tidak
perlu, dan mengkompensasikan aktivitas yang sulit dengan gerakan ataupun
aktivitas lainnya.
Kekuatan
otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan, kemudian tangan, sehingga terapi
fisik dimulai dengan latihan pada lengan dan bahu. Hal-hal mendasar seperti
halnya memegang pensil dan menggunakannya harus kembali dipelajari. Kekuatan
otot perlu diperiksa secara rutin; otot yang lemah perlu dicari untuk kemudian dilatih
dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan spesifik. Dengan bertambahnya
kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang.
Kelelahan
atau berkurangnya endurans otot merupakan masalah baik selama proses
rehabilitasi dan masa penyembuhan. Hampir 80% penderita yang nampaknya sembuh
dan hidup normal kembali, kadang masih dijumpai kelelahan ataupun fatigue;
dan pada beberapa kasus, hal ini tidak kunjung berkurang. Seperti halnya rasa
kesemutan dan nyeri, nampaknya penderita harus belajar untuk hidup dengan hal
itu sebagai bagian hidupnya.
Sumber :
Komentar
:
Kami setuju dengan pernyataan diatas karena sindrom guillain barre untuk
meningkatkan kekuatan otot, dapat dilakukan latihan penguatan secara aktif,
bila kondisi pasien memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu
menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan
dengan bantuan (aktif asistif). Pada penderita GBS yang sangat
lemah, perlu diberikan latihan pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan
angota badan penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun,
maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari waktu ke
waktu.
Kekuatan
otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan, kemudian tangan, sehingga terapi
fisik dimulai dengan latihan pada lengan dan bahu. otot yang lemah perlu dicari
untuk kemudian dilatih dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan
spesifik. Dengan bertambahnya kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar