Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012


TUGAS INTEGUMEN
SINDROM STEVEN-JOHNSON





Di Susun Oleh :
Kelompok III
1.         Churiyah agustinawati
2.         Dwi Lestari Ningsih
3.         Linda Tri Jayanti
4.         Nurlaila puspita
5.         Wiwin Sumilah



                                                                                                                                          

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
STIKES “INSAN CENDEKIA MEDIKA”
JOMBANG
2010
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan berkat, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Syndrom steven johnson” ini dengan tidak ada halangan yang berarti.
Makalah ini kami susun dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai referensi bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai Sistem Integumen. Selain itu, makalah ini kami susun juga untuk menuhi tugas dari dosen Sistem Integumen.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharap tegur sapa dan kritik yang membangun dari para pembaca guna perbaikan dan peningkatan untuk makalah selanjutnya.


Jombang,  Oktober  2010


Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….……………..         i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….         ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...          iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………..           1
1.2 Tujuan ……………………………………………………………………          3
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian ……………………………………………………………….          4
2.2  Etiologi ………………………………………………………………….          4
2.3  Pathofisiologi ………………...…………………………………………          5
2.4  Tanda dan Gejala ………………………………………………………           6
2.5  Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………..…            7
2.6  Komplikasi ……………………………………………………………..           7
2.7  Penatalaksanaan ………………………………………………………..           8
2.8  Diagnosa ……………………………………………………………….            12
2.9  Prognosis ………………………………………………………………            12
ASUHAN KEPERAWATAN …….…….…………………………………..          13
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………….            17
3.2 Saran ……………………………………………………………………           17
 DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%



Gambar 1. Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.
1.2    Tujuan
         Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien sindrom steven johnson.
         Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
         Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada klien dengan sindrom steven johnson.
         Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
         Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
2.2        Etilogi
Penyebab yang pasti belum diketahui, ada angapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain : penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol, metapiron, dan parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi (bakteri,virus, jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
2.3        Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil yang kemudian melepaskan lysozim dan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
         Pemeriksaan laboratorium
         Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
         CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
         Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
         Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
         Adanya nekrosis sel epidermis
         Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
2.4        Tanda dan Gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
·         Kelainan kulit
·         Kelainan selaput lendir di orifisium
·         Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
2.5        Pemeriksaan Penunjang
·         Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
·         Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·         Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.6        Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.
2.7        Penatalaksanaan
Pada  sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit  pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.
Selain itu juga terdapat beberapa lain seperti :
         Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.
         Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
         Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
         Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
         Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
         Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat penyebab harus dihentikan.
         Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka. Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion. Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya,
oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.


2.8        Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
2.9        Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.


ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a)      Data Subyktif
·         Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan  nyeri tenggorokan / sulit menelan.
b)       Data Obyektif
·         Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
·         Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring
·         Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c)      Data Penunjang
·         Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
·         Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·         Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa Keperawatan
  1. Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d adaya bula
  2. Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
  3. Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
  4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
  5. Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid
C. Rencana
No
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Tindakan
1.
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d adaya bula
Tujuan :
Klien merasa nyaman dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang / hilang
Ekpresi muka rileks
  • Berikan kompres dingin
  • Berikan pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap
  • Hindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan
  • Usahakan pasien bias istirahat 7-8 jam sehari.
  • Monitor balance cairan
  • Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam
2.
Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi selama perawatan
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Diet yang disediakan habis
Hasil elektrolit serum dalam batas normal
  • Kaji kemampuan klien untuk menelan
  • Berikan diet cair
  • Jelaskan pada klien dan keluarga tentang pentingnya nutrisi bagi kesembuhan klien
  • Monitoring balance cairan
  • Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan elekrolit
  • K/P kolaborasi untuk pemasangan NGT
3.
Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
Tujuan :
Kerusakan integritas kulit menunjukan perbaikan dalam waktu 7-10 hari
Kriteria hasil :
Tidak ada lesi baru
Lesi lama mengalami involusi
Tidak ada lesi yang infected
  • Kaji tingkat lesi
  • Hindarkan lesi dari manipulasi dan tekanan
  • Berikan diet TKTP
  • Jaga linen dan pakaian tetap kering dan bersih
  • Berikan terapi topical sesuai dengan program
4.
Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
Tujuan :
Pengetahuan klien/keluarga akan meningkat setelah diberikan penyuluhan kesehatan
Kriteria hasil :
Klien/keluarga mengerti tentang penyakitnya
Klien/keluarga kooperatif dalam perawatan /pengobatan
  • Kaji tingkat pengetahuan klien/ keluarga tentang penyakitnya
  • Jeslakan proses penyakit dengan bahasa yang sederhana
  • Jelaskan tentang prosedur perawatan dan pengobatan
  • Berikan catatan obat-obat yang harus dihindari oleh klien
5.
Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi sekunder selama dalam perawatan
Kriteria hasi :
Tidak ada tanda infeksi
  • Hindari lesi kulit dari kontaminasi
  • Dresing infus dan lesi tiap hari
  • Kaji tanda –tanda infeksi lokal maupun sistemik
  • Ganti infus set dan abocatin tiap 3 hari
  • Kolaborasi untuk pemeriksaan Ro thorax dan labortorium



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
3.2  Saran
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu penyakit ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.





DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius



Tidak ada komentar:

Posting Komentar