TUGAS
INTEGUMEN
“SINDROM STEVEN-JOHNSON”
Di Susun
Oleh :
Kelompok
III
1.
Churiyah agustinawati
2.
Dwi Lestari Ningsih
3.
Linda Tri Jayanti
4.
Nurlaila puspita
5.
Wiwin Sumilah
PROGRAM
STUDI D3 KEPERAWATAN
STIKES
“INSAN CENDEKIA MEDIKA”
JOMBANG
2010
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan
berkat, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Syndrom steven johnson” ini dengan tidak ada halangan
yang berarti.
Makalah
ini kami susun dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai referensi bagi
pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai Sistem Integumen. Selain itu,
makalah ini kami susun juga untuk menuhi tugas dari dosen Sistem Integumen.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharap tegur sapa dan kritik yang membangun dari para
pembaca guna perbaikan dan peningkatan untuk makalah selanjutnya.
Jombang, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….…………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
1.2 Tujuan …………………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
………………………………………………………………. 4
2.2 Etiologi
…………………………………………………………………. 4
2.3 Pathofisiologi
………………...………………………………………… 5
2.4 Tanda
dan Gejala ……………………………………………………… 6
2.5 Pemeriksaan
Penunjang ……………………………………………..… 7
2.6 Komplikasi
…………………………………………………………….. 7
2.7 Penatalaksanaan
……………………………………………………….. 8
2.8 Diagnosa
………………………………………………………………. 12
2.9 Prognosis
……………………………………………………………… 12
ASUHAN KEPERAWATAN …….…….………………………………….. 13
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 17
3.2 Saran …………………………………………………………………… 17
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Sindrom
Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi
SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat
ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan
kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum
eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh
lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun
morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan
makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan
angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan
TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda
dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1.
Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2.
Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3.
Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1. Perbedaan Eritema multiformis,
Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan
kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis
tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.
1.2 Tujuan
•
Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan
mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien sindrom steven
johnson.
•
Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu
memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
•
Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada klien
dengan sindrom steven johnson.
•
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan
sindrom steven johnson.
•
Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom
steven johnson.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Sindrom
Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens
dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih
buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal
Necrolysis/TEN).
Sindrom Steven
Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993:
127).
Sindrom Steven
Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson
adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah
hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari
setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
2.2
Etilogi
Penyebab yang pasti belum diketahui,
ada angapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan
disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat
secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain :
penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin,
antipiretik/analgetik, (misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol,
metapiron, dan parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin,
tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi (bakteri,virus,
jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
2.3
Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka
disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi
sehingga terjadi aktivasi neutrofil yang kemudian melepaskan lysozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV
terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen
yang sama kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Reaksi
Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada
jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa
kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
Reaksi
Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini
diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan
waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
•
Pemeriksaan laboratorium
•
Tidak didapatkan pemeriksaan
laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
•
CBC (complete blood count)
bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik.
Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
•
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi
bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
•
Biopsi kulit merupakan
pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
•
Adanya nekrosis sel epidermis
•
Infiltrasi limfosit
pada daerah perivaskular
2.4
Tanda dan Gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada
usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma.
Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya
trias kelainan berupa :
·
Kelainan kulit
·
Kelainan selaput lendir di orifisium
·
Kelainan mata
1.
Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema,
papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan
Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang
sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman.
Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta
berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga
terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis
ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo
membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan
Mata
Kelainan mata yang sering ialah
konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.
2.5
Pemeriksaan Penunjang
·
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau
eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
·
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear,
oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis
sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·
Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah
dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.6
Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah
bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit
dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.
2.7
Penatalaksanaan
Pada sindrom Stevens Johnson
pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid merupakan
tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan
dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam
beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru,
sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid
dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan
antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan
ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat
diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting
terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau
betadin.
Selain itu juga terdapat beberapa lain seperti :
•
Perawatan prehospital:
paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat dan mesti diterapi
sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.
•
Perawatan gawatdarurat harus diberikan
penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
•
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
•
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus
mengenai jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka
dan kontrol nyeri.
•
Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan
suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal
berguna untuk mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami pengelupasan harus
dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
•
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder
perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat penyebab harus dihentikan.
•
Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih
kontroversial.
Seluruh pengobatan harus dihentikan,
khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama
dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa
suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll),
tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution
untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka. Alternatif lainnya untuk
kulit adalah penggunaan calamine lotion. Pengobatan dengan kortikosteroid masih
kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan
peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan,
antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena
menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi
dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan
anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap
hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau
optometris harus dikonsultasikan secepatnya,
oleh karena SJS sering menyebabkan
pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan
vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya.
Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang
dari rumah sakit.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi
tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila
keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian
kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada
gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek
katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti
nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi
misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi
antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan
tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit
dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi
dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak
300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk
lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif
dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling
penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab
reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN
biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka
bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang
melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan
elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus
untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah
infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan
agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai
penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter berpendapat
bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat;
yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada
Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.
2.8
Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi
klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus
atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.
2.9
Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan
< 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko
kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan
sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan
organ dan kematian.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a) Data Subyktif
·
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit menelan.
b) Data Obyektif
·
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah
sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
·
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir,
stomatitis dan pseudomembran di faring
·
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.
c) Data Penunjang
·
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
·
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel
epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun
yang mengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa Keperawatan
- Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d adaya bula
- Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
- Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
- Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
- Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid
C. Rencana
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Perencanaan Keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Rencana Tindakan
|
||
1.
|
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d
adaya bula
|
Tujuan :
Klien merasa nyaman dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang / hilang
Ekpresi muka rileks
|
|
2.
|
Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh
s.d sulit menelan
|
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi selama perawatan
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Diet yang disediakan habis
Hasil elektrolit serum dalam batas normal
|
|
3.
|
Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
|
Tujuan :
Kerusakan integritas kulit menunjukan perbaikan dalam
waktu 7-10 hari
Kriteria hasil :
Tidak ada lesi baru
Lesi lama mengalami involusi
Tidak ada lesi yang infected
|
|
4.
|
Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang
informasi
|
Tujuan :
Pengetahuan klien/keluarga akan meningkat setelah
diberikan penyuluhan kesehatan
Kriteria hasil :
Klien/keluarga mengerti tentang penyakitnya
Klien/keluarga kooperatif dalam perawatan /pengobatan
|
|
5.
|
Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping
terpasangnya infus dan terapis steroid
|
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi sekunder selama dalam perawatan
Kriteria hasi :
Tidak ada tanda infeksi
|
|
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom
Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993:
127).
Sindrom
Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan
keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab
yang spesifik.
3.2 Saran
Makalah
sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman – teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus
bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku
Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar