MORBUS
HANSEN
Disusun Oleh :
1. Fitria
afriliany
2. Nurmuslimah
rahmayanti
3. Rifan
masruri
4. Rindi Puspita ningtyas
5. Tauvik
rahman
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG 2010
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Hipofungsi
Adrenokortikal sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah yang akan membantu
dalam upaya pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung dan dapat
menambah ilmu pengetahuan untuk mencapai suatu keinginan yang besar.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan karena terbatasnya waktu dan pengetahuan kami. Oleh karena
itu mohon segala saran dan kritik demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca umumnya.
Jombang, November 2010
Penulis
PENDAHULUAN
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah
dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995,
Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini
awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India, penderita kusta
sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah penerbitan di Prancis
pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan
menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada
tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering
disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika,
Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita
bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman
moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk
pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan
secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu
masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita
kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni
perkampungan penderita kusta seumur hidup.
1)
Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000
tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di
India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok
600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi
pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping
masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
2)
Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13
dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di
Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak
azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada
penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab
penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih
ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta
untuk seumur hidup.
3)
Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta
oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk
mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit
kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan
derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi
kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu
ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr.
Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap
dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan
selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS
sebagai pengobatan penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan
penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan
obat Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World Health Organisation (Depkes
RI, 2005).
I.
DEFINISI PENYAKIT KUSTA
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta (Daili,
1998).
Kusta merupakan penyakit menahun yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang
mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah.
Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan
pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada
bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian
raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak
selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang
menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka
ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta
adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan
adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Daili,
1998).
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah
bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa,
permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh
rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada
satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak
menular.Sedangkan Kusta tipe Multi
Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih
kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi
penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,
kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+).
Tipe seperti ini sangat mudah menular (Hasibuan, 1990).
II.
EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT KUSTA
1)
Epidemiologi
Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat
di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
2)
Epidemiologi
Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia
Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini
disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.
Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui
bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria
secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke
IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta
terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat
mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun
2000.
III.
PREVALENSI
PENDERITA KUSTA
Pada akhir
tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan
MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi
terjadi peningkatan pada tahun 2002
menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari
0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun
2001, Prevalensi Rate di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar
DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate terendah di
propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran
prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat
mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering
terjadi konflik.
Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak
(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru.
Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%).
Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001
dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000
adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91
dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi
pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua (49,65) dan
terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi di
Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu (0,250). Cakupan
penderita dengan MDT 100%, sedangkan
Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan
lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan
penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002.
Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi Bengkulu,
yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki
14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di
dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya
bagian Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta (Depkes RI, 2005).
IV.
ETIOLOGI
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium
leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman
aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran
sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran
panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan
penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium
leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung
dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka
14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima
tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain,
kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga
tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).
V.
PATOFISIOLOGI
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke
dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat
kuman yang avirulen dan nontoksis (Hasibuan, 1990).
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya
(Hasibuan, 1990)
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem
imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan (Depkes RI, 2002)
Pada kusta tipe
TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi
akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya (Hasibuan, 1990)
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium lepare, disamping itu sel
Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan
imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman
dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif
(Depkes RI, 2000)
VI.
KLASIFIKASI
KUSTA
Klasifikasi
Penyakit Kusta
1)
Jenis klasifikasi yang umum
a.
Klasifikasi
Internasional (1953)
1.
Indeterminate (I)
2.
Tuberkuloid (T)
3.
Borderline-Dimorphous (B)
4.
Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling
(1962).
1.
Tuberkoloid (TT)
2.
Boderline tubercoloid (BT)
3.
Mid-berderline (BB)
4.
Borderline lepromatous (BL)
5.
Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO
(1988)
1.
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta
tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta
tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B
dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam
bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
1.
Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid
dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.
2.
Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe
ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
3.
Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe
yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut
juga sebagai bentuk dimorfik dan
bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi
kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out yang
merupakan ciri khas tipe ini.
4.
Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik
lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah.
Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan
beberapa plak tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi,
berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan
tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5.
Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi
sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini
tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni
di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai
bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor
tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,
cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi
deformitas pada hidung. Dapat
dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis
yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul
makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak
termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
jopling, tetapi diterima secara luas
oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate
(I). lesi biasanya berupa makula
hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi
biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini
hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.
VII.
GAMBARAN KLINIS
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung
dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut yaitu:
1) Adanya bercak tipis seperti panu
pada badan/tubuh manusia.
2) Pada bercak putih ini pertamanya
hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
3) Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf
ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
4) Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
5) Adanya
bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul)
yang tersebar pada kulit
6) Alis rambut rontok
7) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
1) Panas dari derajat yang rendah
sampai dengan menggigil.
2) Noreksia
3) Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4) Cephalgia
5) Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6) Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis,
dan Hepatosplenomegali.
7) Neuritis
VIII.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1.
BACTERIOSKOPIS
Secara
mikroskopis dapat ditemukan
·
Batang utuh
(solid)
·
Batang
terputus (fragmented)
2. BACTERIAL INDEKS (BI)
Ukuran semi kuantitatif kepadatan basil kusta dari sediaan kulit yang
diperiksa. Yang dihitung adalah jumlah rata-rata dari basil hidup dan mati yang
diambil dari beberapa tempat.
Kegunaan BI
adalah:
ü Membantu menegakkan diagnosis
ü Membantu menetukan klasifikasi atau membantu menentukan
tipe kusta
ü Membantu menilai berat ringannya daya infeksi pada
kulit dan bukan untuk menentukan/ menilai hasil pengobatan efektif.
3. MORPHOLOGIKAL INDEKS
Adalah merupakan prosentase basil kusta yang bentuk
solid dibanding semua hasil yang dihitung.
Kegunaan MI
Ø membantu kemajuan pengobatan/menilai efektifitas
obat-obatan
Ø menentukan resistensi basil terhadap obat, serta dapat
menular atau tidaknya kusta.
4. TES LEPROMIN
Menentukan
klasifikasi dan tipe kusta
Dikenal ada
2 macam lepromin yaitu:
a. lepromin mitsuda H
b. lepromin dharmendra
reaksi
kulit thd pembacaan lepromin yaitu:
a. reaksi dini (reaksi fernandes –> terbentuk
infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Pembacaan
biasa dilakukan 48 jam setelah penyuntikan. Hasil dinyatakan (-) sampai positif
3 (+3)
b.
reaksi
lambat (reaksi mitsuda) –> terbentuk nodular pada hari 21-30. reaksi ini
menunjukkan respon terhadap imunitas sellular. Pembacaan dilakukan pada hari ke
21.
Tanda-tanda
utama (cardinal sign) untuk mendiagnosis kusta :
1. bagian kulit dengan hipopigmentasi atau eritematous
dengan kehilangan sebagian (hipestesi) atau seluruh (anastesi dari perasaan
kulit terhadad rasa suhu, nyeri dan sentuh.
2. kerusakan (penebalan atau nyeri) dari saraf kutan atau
saraf perifer pada tempat-tempat predileksi.
3. smear kulit yang diambil dengan tekhnik standar
menunjukkan adanya kuman dengan morfologi M. Leparae yang khas.
dibutuhkan
minimal satu tanda cardinal untuk mendiagnosa penyakit Morbus Hansen.
IX.
UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT KUSTA
Hingga saat ini tidak ada
vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman
kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan
dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting
dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak
salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan
kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita
kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman
kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat
sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia
tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini
pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan
terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat
menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus
kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang
ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta
memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada
setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang
tidak mungkin terkena kusta
c.
Enam
dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d.
Kasus-kasus
menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur
(Depkes RI, 2005).
X.
PENANGGULANGAN
PENYAKIT KUSTA
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana
dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif
dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari metode rehabilitasi
yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya
dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana
penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga
metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Di
Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka
prevalensi penyakit kusta menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya
yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
a)
Penemuan
penderita secara dini.
b)
Pengobatan
penderita.
c)
Penyuluhan
kesehatan di bidang kusta.
d)
Peningkatan
ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
e) Rehabilitasi penderita kusta.
XI.
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
·
Riwayat
kesehatan sebelumnya
·
Bentuk lesi
·
Adakah
tanda-tanda infeksi
·
Adakah
nyeri
·
Apakah
pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama
·
Sudahkah
pasien berobat untuk menyembuhkan lesi
Diagnosa Keperawatan
- Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
- Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
- Gangguan aktivitas b/d post amputasi
- Resti injuri b/d invasif bakteri
Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif
koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan
kriteria hasil :
- Klien dapat menerima perubahan dirinya
- Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
- Klien tidak merasa malu
Intervensi :
- Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
- Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
- Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan, dengan kriteria hasil :
- Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
- Klien tenang
- Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
- Kaji skala nyeri klien
- Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
- Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Awasi keadaan luka operasi
- Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
- Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan
tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
- Klien dapat beraktivitas mandiri
- Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
- Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
- mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
- Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde.
1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.
Anonim. 2010.Bab iii. Diakses dari syair79.files.wordpress.com/2009/09/bab-ii.doc pada tanggal 22 November 2010.
Anonim.
2010. MORBUS HANSEN (Kusta, Lepra)
.Diakses dari http://iwansaing.wordpress.com/2009/06/09/morbus-hansen/ pada tanggal 18 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar