Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012

MORBUS HANSEN


MORBUS HANSEN


Disusun Oleh :

1.      Fitria  afriliany
2.      Nurmuslimah rahmayanti
3.      Rifan masruri
4.      Rindi Puspita ningtyas
5.      Tauvik rahman



                                                                                                                     



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG 2010




KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Hipofungsi Adrenokortikal sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah yang akan membantu dalam upaya pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung dan dapat menambah ilmu pengetahuan untuk mencapai suatu keinginan yang besar.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena terbatasnya waktu dan pengetahuan kami. Oleh karena itu mohon segala saran dan kritik demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca umumnya.  



                                                                                         Jombang,   November 2010


                                                                                                         Penulis






PENDAHULUAN

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup.
1)     Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
2)     Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.
3)     Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a.      Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b.     Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug Therapy  (MDT) sesuai dengan rekomendasi World Health Organisation (Depkes RI, 2005).








       I.            DEFINISI PENYAKIT KUSTA
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Daili, 1998).
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Daili, 1998).
Kusta tipe Pausi Bacillary  atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah menular (Hasibuan, 1990).
    II.            EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA
1)  Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
2)  Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar  di Indonesia sebanyak  20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun 2000.
 III.            PREVALENSI PENDERITA KUSTA
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan  pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, Prevalensi Rate di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering terjadi konflik.
Angka Penemuan Penderita  Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita  anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua (49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu (0,250). Cakupan penderita  dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta (Depkes RI, 2005).
 IV.            ETIOLOGI
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).

    V.            PATOFISIOLOGI
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis (Hasibuan, 1990).
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya (Hasibuan, 1990)
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan (Depkes RI, 2002)
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya (Hasibuan, 1990)
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Depkes RI, 2000)
 VI.            KLASIFIKASI KUSTA
Klasifikasi Penyakit Kusta
1)     Jenis klasifikasi yang umum
a.      Klasifikasi Internasional (1953)
1.    Indeterminate (I)
2.    Tuberkuloid (T)
3.    Borderline-Dimorphous (B)
4.    Lepromatosa (L)
b.     Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1.    Tuberkoloid (TT)
2.    Boderline tubercoloid (BT)
3.    Mid-berderline (BB)
4.    Borderline lepromatous (BL)
5.    Lepromatosa (LL)
c.      Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
1.    Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2.    Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut  :
1.    Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2.    Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3.    Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.    Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5.    Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.
VII.            GAMBARAN KLINIS
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut yaitu:
1)   Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2)   Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
3)   Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
4)   Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
5)   Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit
6)   Alis rambut rontok
7)   Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
1)   Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2)   Noreksia
3)   Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4)   Cephalgia
5)   Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6)   Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis, dan Hepatosplenomegali.
7)   Neuritis

VIII.            PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1.      BACTERIOSKOPIS
Secara mikroskopis dapat ditemukan
·         Batang utuh (solid)
·         Batang terputus (fragmented)
2.      BACTERIAL INDEKS (BI)
Ukuran semi kuantitatif  kepadatan basil kusta dari sediaan kulit yang diperiksa. Yang dihitung adalah jumlah rata-rata dari basil hidup dan mati yang diambil dari beberapa tempat.
Kegunaan BI adalah:
ü  Membantu menegakkan diagnosis
ü  Membantu menetukan klasifikasi atau membantu menentukan tipe kusta
ü  Membantu menilai berat ringannya daya infeksi pada kulit dan bukan untuk menentukan/ menilai hasil pengobatan efektif.
3.      MORPHOLOGIKAL INDEKS
Adalah merupakan prosentase basil kusta yang bentuk solid dibanding semua hasil yang dihitung.
Kegunaan MI
Ø  membantu kemajuan pengobatan/menilai efektifitas obat-obatan
Ø  menentukan resistensi basil terhadap obat, serta dapat menular atau tidaknya kusta.
4.      TES LEPROMIN
Menentukan klasifikasi dan tipe kusta
Dikenal ada 2 macam lepromin yaitu:
a.       lepromin mitsuda H
b.      lepromin dharmendra
reaksi kulit thd pembacaan lepromin yaitu:
a.       reaksi dini (reaksi fernandes –> terbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Pembacaan biasa dilakukan 48 jam setelah penyuntikan. Hasil dinyatakan (-) sampai positif 3 (+3)
b.      reaksi lambat (reaksi mitsuda) –> terbentuk nodular pada hari 21-30. reaksi ini menunjukkan respon terhadap imunitas sellular. Pembacaan dilakukan pada hari ke 21.
Tanda-tanda utama (cardinal sign)  untuk mendiagnosis kusta :
1.      bagian kulit dengan hipopigmentasi atau eritematous dengan kehilangan sebagian (hipestesi) atau seluruh (anastesi dari perasaan kulit terhadad rasa suhu, nyeri dan sentuh.
2.      kerusakan (penebalan atau nyeri) dari saraf kutan atau saraf perifer pada tempat-tempat predileksi.
3.      smear kulit yang diambil dengan tekhnik standar menunjukkan adanya kuman dengan morfologi M. Leparae yang khas.
dibutuhkan minimal satu tanda cardinal untuk mendiagnosa penyakit Morbus Hansen.
 IX.            UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT KUSTA
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a.    Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b.    Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c.    Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d.   Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur (Depkes RI, 2005).

    X.            PENANGGULANGAN PENYAKIT KUSTA

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kusta menjadi  0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
a)    Penemuan penderita secara dini.
b)   Pengobatan penderita.
c)    Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
d)   Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
e)    Rehabilitasi penderita kusta.

 XI.            KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
·         Riwayat kesehatan sebelumnya
·         Bentuk lesi
·         Adakah tanda-tanda infeksi
·         Adakah nyeri
·         Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama
·         Sudahkah pasien berobat untuk menyembuhkan lesi
Diagnosa Keperawatan
    1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
    2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
    3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
    4. Resti injuri b/d invasif bakteri
Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
  • Klien dapat menerima perubahan dirinya
  • Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
  • Klien tidak merasa malu
Intervensi :
  • Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
  • Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
  • Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil :
  • Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
  • Klien tenang
  • Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
  1. Kaji skala nyeri klien
  2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
  3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
  4. Awasi keadaan luka operasi
  5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
  6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
  • Klien dapat beraktivitas mandiri
  • Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
  1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
  2. mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
  3. Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
















DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.
Anonim. 2010.Bab iii. Diakses dari syair79.files.wordpress.com/2009/09/bab-ii.doc pada tanggal 22 November 2010.
.Diakses dari http://iwansaing.wordpress.com/2009/06/09/morbus-hansen/ pada tanggal 18 Oktober 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar