Total Tayangan Halaman

Kamis, 02 Agustus 2012

karsinoma nasofaring


A.      PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

B. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500 kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).


C. Tanda dan Gejala

Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Nasofaringoskopi
b. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).

E. Penatalaksanaan Medis
a. Radioterapi merupakan pengobatan utama
b. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

F. Pengkajian
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Tanda dan gejala :
 Aktivitas
v
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
 Sirkulasi
v
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
 Integritas ego
v
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
 Eliminasi
v
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
 Makanan/cairan
v
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

 Neurosensori
v
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
 Nyeri/kenyamanan
v
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
 Pernapasan
v
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan
 Keamanan
v
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
 Seksualitas
v
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
 Interaksi sosial
v
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)


H. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
 Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
S
 Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
S
 Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
S
 Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
S
 Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.
S

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
 Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
S
 Orientasikan pasien terhadap lingkungan
S
 Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
S
 Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
S
 Bicara dengan gerak mulut yang jelas
S
 Bicara pada sisi telinga yang sehat
S

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder kemoterapi radiasi
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
§
 Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
§
 Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
§
 Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
§
Intervensi :
 Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
S
 Berikan dorongan higiene oral yang sering
S
 Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
S
 Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
S
 Pantau masukan makanan tiap hari.
S
 Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
S
 Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
S
 Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)
S

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
 Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
§
 Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
§
 Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
§
Intervensi :
 Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
S
S Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
 Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
S
 Tekankan higiene personal
S
 Pantau suhu
S
 Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
S

5. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologi, efek radiasi kemoterapi
Tujuan : integritas kulit tetap terjaga
Kriteria hasil :
Menunjukkan perubahan yang minimal pada kulit dan menghindari trauma pada area kulit yang sakit
Intervensi :
 Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping kanker
S
 Mandikan dengan menggunakan air hangat dan sabun ringan
S
 Hindari menggosok atau menggaruk area
S
 Anjurkan pasien untuk menghindari krim kulit apapun, bedak, salep apapun kecuali diijinkan dokter.
S
 Hindarkan pakaian yang ketat pada aea tersebut
S
 Oleskan vitamin A dan D pada area tersebut
S
 Tinjau ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada kemoterapi.
S

6. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral behubungan dengan efek samping agen kemoterapi radiasi
Tujuan : tidak terjadi gangguan pada membran mukosa
Kriteria hasil :
 Menunjukkan mukosa oral yang bersih dan utuh
§
 Tidak menunjukkan adanya ulserasi atau infeksi pada rongga mulut
§
 Melaporkan tidak adanya nyeri, kesulitan menelan dan dehidrasi
§
Intervensi :
 Kaji kesehatangigi dan hihiene oral secara periodik
S
 Kaji rongga mulut tiap hari, perhatikan perubahan pada integritas membran mukosa oral
S
S Instruksikan mengenai perubahahn diet misalnya hindari makanan panas atau pedas, anjurkan penggunaan sedotan, mencerna makanan lembut atau diblender.
 Pantau dan jelaskan tanda-tanda tentang superinfeksi oral
S
S Mulai program higiene oral : gunakan pencuci mulut dari salin hangat, larutan pelarut dari hidrogen peroksida, sikat dengan sikat gigi/benang gigi, pertahankan bibir lembab dengan pelumas bibir.

7. Gangguan harga diri berhubugan dengan efek samping radioterapi: kehilangan rambut
Tujuan : gangguan harga diri teratasi
Kriteria hasil : Mengungkapkan perubahan gaya hidup tentang perasaan tidak berdaya, putus asa
Intervensi :
 Tinjau ulang efek samping yang diantisipasi berkenaan dengan pengobatan tertentu
S
 Dorong diskusi tentang/pecahkan masalah tentang efek kanker
S
 Akui kesulitan yang mungkin di alami
S
 Evaluasi struktur pendukung yang ada dan digunakan oleh pasien /orang terdekat
S
 Beri dukungan emosi untuk pasien/orang terdekat selama tes diagnostik dan fase pengobatan
S
 Gunakan sentuhan selama interaksi
S

8. Konstipasi/diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI sekunder kemoterapi
Tujuan : gangguan defekasi tidak terjadi
Kriteria hasil : Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi umum


Intervensi :
 Kaji bising usus, gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi.
S
 Pantau masukan dna haluaran serta berat badan
S
 Dorong masukan cairan adekuat, peningkatan serat diet, latihan
S
 Pastikan diet yang tepat; hindari makanan tinggi lemak, makanan serat tinggi, kafein tinggi.
S
 Periksa infeksi bila tidak defekasi selama 3 hari atau distensi abdomen.
S
 Berikan cairan IV, agen antidiare, laksatif.
S

9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
 Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
§
 Tidak menunjukkan adanya darah feses, urin atau emesis
§
 Tidak menunjukkan perdarahan gusi
§
Intervensi :
 Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
S
 Kaji terhadap perdarahan : petekhie, penurunan Hb Ht, perdarahan dari orifisium tubuh
S
S Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : gunakan sikat gigi halus, hindari cairan pembilas mulut komersial, hindari makanan yang sulit dikunyah
 Lakukan tindakan meminimalkan perdarahan : hindari
S mengukur suhu rektal, hindari suntikan IM, lembabkan bibir dengan petrolatum, mempertahankan masukan cairan
 Gunakan pelunak feses atau tingkatkan serat dalam diet.
S
(Doenges, 2000)

CA.NASOFARING I
. Konsep Dasar Medis
A.      Pengertian Karsinoma faring merupakan tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fossa rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Effiaty, 2001).
B.      Tumor ganas nasofaring ( karsinoma faring) adalah sejenis kanker yang dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ tubuh kita.
C.      B. Etiologi 1. Pertumbuhan sel kanker yang tidak terkontrol 2. Keturunan/genetic 3. Lingkungan 4. Virus
D.      C. Patofisiologi Terbukti juga infeksi virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang teerinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses poliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai pertanda delam mendiagnosa karsinoma nasofaring.
E.       Terdapat lima stadium pada karsinoma nasofaring, yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasofaring, biasa disebut nasopharynx in situ 2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasofaring
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasofaring ke rongga hidung. atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher
 4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher 5.
5. Stadium 4: Kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala nasofaring sendiri berupa mimisan ringan (keluar darah lewat hidung) atau sumbatan hidung, ini terjadi jika kanker masih dini.
 2. Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (saluran penghubung hidung-telinga). Gejalanya berupa telinga berdenging atau berdengung, rasa tidak nyaman di telinga sampai nyeri.
3. Gejala mata dan saraf, gejalanya nyeri di bagian kepala, leher, wajah, pandangan kabur dan diplopia. 4. Gejala metastasis, berupa bengkak di leher karena pembengkakan kelenjar limfe
E. Tes Diagnostik
1. Endoskopi
2. Pengambilan biopsy
3. MRI
4. CT scan
5. Sinar X

 F. Penatalaksanaan
 1. Terapi radiasi
2. Kemoterapi
3. Pembedahan

 II. Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Aktivitas Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri dan ansietas.
 2. Sirkulasi Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan TD, epistaksis.
 3. Intergritas Ego Faktor stress, perubahan penampilan, tidak ada kepercayaan diri, depresi.
4. Eliminasi Perubahan pola defekasi, konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urine, perubahan bising usus distensi abdomen.
5. Makanan atau cairan Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia, mual muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan BB.
 6. Neuroesnsoris Sakit kepala, tinnitus, tuli, diplopia,juling
7. Nyeri/kenyamanan Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga, rasa kaku di daerah leher karna fibrosis jaringan akibat penyinaran
8. Pernafasan Riwayat Merokok
9. Keamanan Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama atau berlebihan, demam, ruam kulit
10. Interaksi sosial

B. Diagnosa Keperawatan
 1. Nyeri berhubungan dengan konversi atau destruksi jaringan saraf
Tujuan: Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria Hasil: Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi nyeri
2. Gangguan sensori persepsi berhubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor Tujuan: Mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori persepsi
Kriteria Hasil: Mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder kemoterapi radiasi.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil: a. Melaporkan penurunan mual dan insiden muntah b. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat c. Mennunjukan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab d. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan

Bila kita merujuk pada data statistik yang dikeluarkan oleh American Cancer Society dalam Cancer.Net (2008) teercatat bahwa Kasus Karsinoma Nasofaring termasuk jarang ditemukan di Amerika Serikat, yaitu sekitar 2000 orang yang terdiagnosa setiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, dan angka ini telah mengalami penurunan. Karsinoma nasofaring lebih banyak ditemukan di belahan dunia lain seperti Asia dan Afirika Utara, misalnya saja China bagian Selatan banyak kasus ditemukan untuk penyakit ini.
Sementara itu, Indonesia sebagai bagian dari Asia mencatat bahwa tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia adalah Karsinoma nasofaring, dimana jenis tumor yang satu ini termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (Lutan & Soetjipto dalam Asroel, 2002). Dan dalam Roezin dan Adham (2007) disebutkan bahwa hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.
1. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Efiaty, 2001).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker yang dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang berbeda. Dengan mengetahui tipe yang sel yang berbeda merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yang akan digunakan (American Cancer Society dalam Cancer.Net, 2008).
2. Etiologi
Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Berikut ini dipaparkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya karsinoma nasofaring:
• Epstein-Barr Virus (EBV),
• Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring.
• Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
• Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :
• Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
• Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
• Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : benzopyrenen , benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu
• Ras dan keturunan, tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.
• Radang kronis daerah nasofaring
• Penggunaan tembakau, adalah salah satu faktor risiko terbesar kanker pada kepala dan leher, 85% kanker kepala dan leher disebabkan oleh factor ini.
• Alcohol, konsumsi yang sering dan tinggi adalah faktor risiko kanker pada kepala dan leher.
• Jenis Kelamin, laki-laki 2 kali lebih berpotensi menderita penyakit ini dibandingkan wanita.
• Usia, karsinoma nasofaring lebih sering menyerang seseorang yang berusia diatas 30 tahun.

3. Patofisiologi
Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

4. Manifestasi Klinis
Pengetahuan tentang gejala klinis dari karsinoma nasofaring dan perluasannya, sangat diperlukan untuk memudahkan dalam pembuatan suatu diagnosis. Gejala ditentukan oleh hubungan anatomik antara nasofaring dengan organ sekitarnya. Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
1. Gejala nasofaring: Epistaksis, Sumbatan hidung
Gangguan pada telinga: Kataralis/oklusi tuba eustachius, Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran.
2. Gangguan neurologi
Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis khususnya kelumpuhan saraf kranial.
3. Metastasis ke kelenjar getah bening leher
Tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastikdan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar getah bening leher. Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher dan tertahan di sana dan karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh.

5. Komplikasi
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Ada beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan, meliputi (Efiaty & Nurbaiti, 2001):
1. Nasofaringoskopi
Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
2. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
3. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Ada beberapa pemeriksaan diagnostic lainnya yang dipaparkan dalam Cancer. Net (2008) antara lain:
1. Magnetic resonance imaging (MRI), menghasilkan secara detail gambaran tubuh, khususnya jaringan lunak. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam mendeteksi tumor nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe
2. Bone scan. Prosedur ini menggunakan material radioaktif yang sangat kecil untuk menentukan apakah kanker telah menyebar sampai ke tulang. Alat ini menggambarkan bila tulan sehat maka pada kamera akan tampak berwarna abu-abu, dan bila ada kanker akan tampak gelap.
3. Neurologic tests. Tes ini untuk mengetahui fungsi nervus, khususnya sensasi taktil wajah dan fungsi gerak pada nervus tertentu di area leher dan kepala.
4. Hearing test. Tes ini dilakukan bila diduga ada cairan pada telinga tengah.
5. Positron emission tomography (PET) scan. A PET scan adalah alat yang digunakan untuk menciptakan tampilan gambaran organ dan jaringan dalam tubuh. Substansi radioaktif yang berukuran kecil diinjeksikan ke dalam tubuh pasien dan akan terdeteksi oleh sebuah scanner, yang akan menghasilkan gambar.
6. Pelatalaksanaan Medis
• Radioterapi merupakan pengobatan utama
• Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
• Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

7. Pencegahan
Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat dikontrol, ada beberapa yang dapat dihindari dengan melalkukan perubahan gaya hidup. Menghentikan penggunaan rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi risiko karsinoma nasofaring.
Selain itu pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.
Source:
Adams, G. L., 1997, Boeis: Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta.

Arina, C. A., 2006, Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring, USU Digital Library, diakses pada 19 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.

Asroel, H. A., 2002, Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring, USU Digital Library, diakses pada 19 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf.

Cancer.Net, 2008, Nasopharyngeal Cancer, diakses pada 06 September 2008, Cancer.net guide to Nasopharyngeal Cancer, www.cancer.net/patient/Cancer+Types/ Nasopharyngeal+Cancer.

Care with “Love”, 2008, Laporan Pendahuluan
Askep Pada Klien Dengan Ca Nasofaring, diakses pada 15 September 2008, http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/02/ca-nasofaring.htm.

Doenges, Moorhouse, & Geissler., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Efiaty, Nurbaety, dkk., 2007, Buku Ajar Penyakit THT, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Handikin, L. S., 2008, Combined Treatment For Advanced Nasopharyngeal Cancer, Cahaya Masa depan, diakses pada 6 Oktober 2008, http://cahayamasadepan.blogspot.com/2008/09/combined-treatment-for-advanced.htm.

Karis, 2007, Asuhan Keperawatan Kanker Naso Faring, Berbisnis Dengan Hati, diakses pada 01 September 2008, http://www.karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38782_ASUHAN-KEPERAWATAN-KANKER-NASO-FARING.html.

Rusdiana, Munir, D., & Syregar Y., 2006, Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. USU Digital Library, diakses pada 21 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/rusdiana.pdf.

Ikan asin itu mengandung nitrosamin yang merupakan pencetus aktifnya virus Epstein-Barr yang merupakan penyebab utama kanker nasofaring (kanker tenggorokan atau THT),” jelas dr Budianto Komari, Sp.THT dari KSMF THT RS Kanker Dharmais, dalam acara penyuluhan ilmiah untuk awan ‘Diagnosa & Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring’ di RS Kanker Dharmais, Jakarta, Selasa (23/11/2010).
Zat Nitrosamin Pada Ikan Asin

Setelah diteliti lebih jauh mengenai kandungan gizi pada ikan asin yang merupakan makanan serta lauk favorit masyarakat Indonesia rupanya antara kebaikan dan keburukan zat yang terkandung dalam Ikan Asin banyak terkandung nitrosamin. Nitrosamin yang merupakan karsinogen (zat pemicu kanker). Ini karena dalam proses pengasinan dan penjemurannya, sinar matahari bereaksi dengan nitrit (hasil perombakan protein) pada daging ikan, sehingga membentuk senyawa yang disebut nitrosamin.

“Nitrosamin ini pencetus utama kanker nasofaring, tidak hanya di ikan asin tetapi juga banyak pada makanan yang diawetkan,” kata dr Budi lebih lanjut.

dr Budi menjelaskan, di daerah China Selatan yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan dan hampir setiap hari makan ikan asin ternyata angka kejadian kanker nasofaring sangat tinggi. Dan setelah diteliti oleh para pakar di china pencetus utamanya adalah ikan asin.

Menurut dr Budi, virus Epstein-Barr sebenarnya banyak terdapat dimana-mana, bahkan di udara bebas. Hanya saja tidak semua akan menjadi kanker, virus ini akan tetap ‘tidur’ di nasofaring jika tidak dipicu faktor-faktor tertentu.

Lalu apakah kita tidak boleh mengkonsumsi ikan asin ?  “Sebenarnya kalau sekali-kali makan ikan asin ya nggak apa-apa, ikan asin enak kok. Tapi ya jangan sering-sering, jangan tiap hari juga. Yang terpenting makan harus bervariasi dan makanan segar, jangan terlalu sering makan makanan awetan atau kalengan,” tutup dr Budi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar